top of page

POWER PURCHASE AGREEMENT (PPA) UNTUK ENERGI TERBARUKAN YANG BANKABLE

Uploaded by Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia | 10 Mei 2021 Script Writer : Miftahus Salam

Editor : Nisma Islami Maharani & Tamara Dita Wulandari


Power Purchase Agreement (PPA) menjadi instrumen pertama yang perlu diperhatikan untuk menarik investasi swasta. Kinerja Indonesia dalam pengadaan Independent Power Producer (IPP) untuk sektor swasta belum bisa memuaskan. Masih sedikit pembangkit yang terkontrak dan sudah berjalan untuk memenuhi target Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia. Oleh karena itu diadakan diskusi untuk membahas PPA yang bankable agar dapat menarik perhatian investasi serta mengakselerasi implementasi IPP EBT di Indonesia.


Menurut IESR untuk mencapai status dekarbonisasi (climate-neutral/net-zero emission) minimal 80% pasokan listrik berasal dari pembangkit energi terbarukan di 2050 [1].


Untuk mencapai status “energy transition ready” maka total kapasitas pembangkit EBT di 2025 harus mencapai 24 GW, dan di 2050 mencapai minimal 405 GW. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan :

  • Kapasitas pembangkit EBT harus meningkat 2,7x pada 2025-20Kapasitas pembangkit EBT harus meningkat 2,7x pada 2025-2050 dibandingkan dengan target RUEN.

  • Setelah 2025 penambahan pembangkit EBT harus mencapai 15-20 GW/tahun.

  • Pembangkit VRE dan distributed generation akan mendominasi kapasitas pembangkit setelah 2025.

  • Pada 2050, minimal 51% dari kapasitas adalah PLTS dan PLTB. Dengan kondisi ini makan energy storage (utility and small scale) sangat diperlukan.50 dibandingkan dengan target RUEN.

  • Setelah 2025 penambahan pembangkit EBT harus mencapai 15-20 GW/tahun.

  • Pembangkit VRE dan distributed generation akan mendominasi kapasitas pembangkit setelah 2025.

  • Pada 2050, minimal 51% dari kapasitas adalah PLTS dan PLTB. Dengan kondisi ini makan energy storage (utility and small scale) sangat diperlukan.

Untuk mencapai hal tersebut perlu dilakukan akselerasi PPA oleh PLN. Hal ini dikarenakan jika pengembangan PPA masih seperti sekarang Indonesia tidak bisa mencapai tujuan di tahun 2050.

Ada beberapa hal yang menjadi penghambat PPA di Indonesia. Hal ini selalu menjadi resiko akselerasi pengembangan EBT.Hal-hal tersebut yaitu :

  • Akusisi lahan

  • Penundaan Komisioning

  • Output PPA

  • Keterbatasan Kapasitas

  • TransmisiKetidakpastian Hukum

  • Ketidakstabilan Mata Uang

Isu Terkait PPA

Isu Bankabilitas

  • Konsep Take or Pay

    • PLN menjadi single buyer dari IPP

    • PLN tetap membayar IPP walaupun IPP tidak menyalurkan listrik ke PLN dalam keadaan tertentu

  • Jaminan kepada C

    • IPP perlu diperbolehkan mengalihkan hak dan kewajiban dalam PPA kepada lenders (berapapun kapasitas proyek)

    • PLN consent letter untuk memberikan step-in right kepada lenders

    • Pengalihan saham dalam IPP harus diperbolehkan untuk kepentingan lenders (perlu dikecualikan dari PLN right of first offer)

  • Resiko Pemerintah

    • Biaya Tambahan

    • Pembangkit Generasi Lama

    • Keterlambatan Konstruksi

    • Pengakhiran Proyek

  • Kerusakan Jaringan

  • Refinancing

    • Pembayaran hutang yang harus dibayar PLN ketika PJBTL diakhiri

  • Resiko Mata Uang

    • Fluktuasi Kurs USD

    • Pembayaran langsung dalam bentuk USD

Isu Komersial

  • BOT / BOO

  • Take or Pay / Take and Pay

  • Staging Tariff

  • Pembiayaan dengan Ekuitas

  • IRR untuk Sponsors saat PJBTL diterminasi

  • Hak Opsi PLN untuk Membeli Proyek selama Jangka Waktu PJBTL

  • Jumlah Liquidated Damages

  • Right of First Offer PLN dan Pengalihan Saham setelah COD

  • Excess Energy

  • Tingkat Komponen Dalam Negeri

Indikasi Peningkatan Harga PLTS di Indonesia hingga 80% [2]

Peningkatan ini terjadi karena :

  • Kurangnya akses ke jaminan dan subsidi.

  • Pengembalian yang lebih tinggi untuk mengimbangi yang lebih tinggi biaya pemasaran dan pengembangan.

  • Biaya investasi yang lebih tinggi muncul dari campuran kekurangan skala ekonomi dan persyaratan tingkat komponen lokal yang lebih tinggi.

Proyek PLTS Skala Besar dan Aspek Kelayakan Pembiayaan

Pokok Pikiran :

  • PLTS Skala Besar dalam konteks ini dimaksudkan untuk akselerasi pembangunan pembangkit energi terbarukan guna mengejar target NDC 23% RE pada tahun 2025, atau sekurangnya menunjukkan komitmen Indonesia untuk bertransisi energy sejalan dengan upaya dunia. Akselerasi dapat diperoleh dari pembangunan PLTS yang berskala besar, karena dapat dibangun dalam waktu singkat dan dapat bersaing dengan pembangkit fossil serta menurunkan BPP. Pembangunan PLTS Skala Besar diperkirakan memerlukan modal swasta dalam bentuk IPP.

  • Proses Pengadaan IPP perlu ditingkatkan kepastian dan kredibilitasnya dan semangat win – win dan partnership antara PLN dan IPP perlu dijaga.

  • Agar dapat bersaing dan menurunkan BPP maka IPP PLTS skala besar perlu mendapat dukungan pemerintah berupa Insentif Fiskal, Jaminan, dan Viability Gap Fund. Dukungan ini berbeda dengan subsidi karena hanya bersifat “ single shot”, diarahkan untuk menurunkan Capex dari pengembang yang berujung pada pencapaian target tariff PPA yang kompetitif.

  • Untuk menjamin tercapainya tariff yang efisien pembangunan PLTS skala besar di berbagai tempat perlu dilakukan dengan metode pengadaan yang transparent dan robust, misalnya melalui reverse auction.

  • Pembangunan PLTS skala besar membuka peluang pemanfaatan teknologi baru misalnya Interconnection, Storage, dan produksi Hydrogen/Energi baru lainnya.

Permasalahan Proyek PLTS Skala Besar

  • Kebijakan dan Regulasi Pemerintah

    • Subsidi PLN

    • Harga PPA

    • Kurangnya komitmen pemerintah terhadap EBT

    • Persyaratan TKDN

  • Infrastruktur dan Operasi

    • Kestabilan dan Kehandalan grid

    • Ketersediaan dan persoalan lahan

    • Oversupply pada sistem Jawa Madura dan Bali

    • Sistem kecil lainnya


Bankabilitas pada Stakeholder Utama

  • Asesmen bankability pada Stakeholder utama proyek PLTS sangat menentukan layak atau tidaknya investasi proyek. Utamanya adalah due diligence atas sponsor proyek (pengembang), kemudian bagaimana bunyi PPA terms dari Off Taker, dilihat juga penyelenggara asuransi dan terakhir adalah kebijakan terkait dengan proyek PLTS yang berlaku.

  • Bank akan melihat juga siapa saja para pihak yang berkontrak dengan pengembang: mulai dari pemilik lahan beserta kelengkapan perijinannya, Kontraktor EPC yang memiliki track record baik dalam proyek skala utility, kontraktor O&M berpengalaman, serta vendor supplier komponen utama seperti modul surya, inverter, BOS, monitoring system dan HV apparatus.

Penilaian Ekonomi Suatu Proyek

  • Studi kelayakan proyek yang terverifikasi jelas yang disetujui oleh OffTaker (dalam hal ini PLN), tersedianya solar resource yang bankable seperti contohnya dataset dari SolarGIS.

  • Track record dari vendor yang berani memberikan performance guarantee dari komponen utama seperti modul surya atau inverter yang diterima oleh pasar; seperti misalnya vendor modul surya dengan performa tinggi yang tergabung pada Tier 1 (produknya sudah sudah terbukti dipakai dengan non recourse financing).

  • Capex yang kompetitif untuk teknologi/equipment yang mempengaruhi keekonomian suatu proyek, pada akhirnya membuat LCOE, harga keekonomian (biaya per kWh) yang rendah.

  • Tarif yang memadai yang mempengaruhi pengembalian Ekuitas IRR proyek dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) yaitu pengukuran arus kas yang tersedia untuk membayar kewajiban hutang.

Pertimbangan Financing Project PLTS Skala Besar

  • Bank tidak akan menanggung risiko penyelesaian suatu proyek. Risiko ini dialokasikan antara EPC kontraktor (melalui retensi pembayaran kontrak EPC dan klausa LD) dan dengan sponsor proyek atau pengembang (idealnya ada kontingensi untuk cost overrun).

  • Pengurangan risiko teknis kepada pihak terkait dimungkinan selama Pengembang melakukan pengalihan riskio kepada EPC kontraktor, penyedia O&M, dan pabrikan komponen utama seperti misalnya modul surya dalam kaitannya pemberian garansi performance.

  • Sebagai contoh, pabrikan modul surya biasanaya hanya menyediakan garansi produk 10 tahun, pabrikan inverter memberikan garansi hanya 5 tahun saja. Garansi ini diberikan termasuk cacat produk (manufacturing defect) berlaku sejak commissioning. Vendor proyek modul surya akan diminta menyediakan garansi atas performance output rasio selama masa kontrak PPA. Beberapa vendor modul surya tergabung dalam Tier 1 bahkan mereka bisa memberi garansi produk dan performance output selama 25 tahun.

  • Reputasi internasional dari vendor komponen utama seperti modul surya, inverter BOS dll untuk PLTS skala besar dengan pengalaman non-recourse financing akan lebih mudah disetujui mendapat pembiayaan dari Bank Internasional.

KPBU SEBAGAI FORMAT KERJASAMA POKOK















DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP KPBU


Viability Gap Fund

Kontribusi pemerintah dalam bentuk tunai dari sebagian biaya konstruksi. Diberikan untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek.


Jaminan Pemerintah

Pemerintah menerapkan prinsip alokasi risiko untuk proyek – proyek. Jaminan yang mencakup resiko yang dialokasikan untuk pemerintah.


Insentif Fiskal

Diperlukan peraturan khusus yang mengatur insentif untuk pengembangan EBT.Insentif fiskal untuk impor bahan industri produk PLTS (modul dan baterai): pembebasan bea masuk, PPN, PPh 22.


Untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan pada umumnya dan PLTS skala besar pada khususnya, sambil melindungi konsumen dari tekanan harga, Pemerintah dalam hal ini lewat Kementerian ESDM dan PLN terus bertransisi dari ketergantungan energi fosil, menuju transisi energi terbarukan, khususnya PLTS guna menyediakan listrik untuk semua konsumen dan terintegrasi dari banyaknya produsen listrik menghasilkan bauran energi yang beragam dan yang melayani pasar yang semakin luas.


Bankability proyek PLTS skala besar sangat penting guna menarik minat investor. Untuk itu diperlukan terobosan mulai dari kebijakan/ regulasi yang baik yang diterima pasar, penerimaan PLN untuk adopsi lebih banyak lagi proyek ET pada umumnya dan PLTS pada khususnya, dan manajemen risiko dari pengembang untuk mengasilkan pengembalian yang layak. Untuk itu diperlukan keseriusan semua pemangku kepentingan untuk mengedepankan jalan nya transisi energi yang baik sehingga target 23% di tahun 2025 bisa dimungkinkan tercapai.

Untuk mendorong Bankability dari PPA ada beberapa hal yang bisa dilakukan :

  • Prioritisasi top level pemerintah sangat penting.

  • Integrasi aggregasi rooftop PV program dengan perhitungan demand – supply penyediaan listrik.

  • Maksimalkan rooftop PV untuk C & I.

  • Reformasi subsidi bahan bakar fossil di PLN (DMO cap price dan harga gas).

  • Solar park scheme – reverse auction, streamlining PPA process & bidding requirement, access to grid.

  • Relaksasi TKDN.

  • Streamlining proses tender dan PPA – standardize PPA terms.

Sumber :

[1] Study Report RUEN - IESR.

https://iesr.or.id/download/national-energy-general-plan-ruen-2020


[2] Irradiation | Global Solar Atlas Investment costs | IRENA. 2020.


Renewable Power Generation Costs in 2019 Gulf financing costs | IEEFA. 2020.


India Unable to Compete with Record Low Solar Tariffs in Gulf Region Indonesian financing costs | Engie. 2019.


Bridging the gap between Dubai (800MWp) solar tariff at 2.99c/kWh and a hypothetical 150MWp solar plant in Riau, Indonesia (expressed as difference from Gulf costs.




Freely register as PJCI member, click here: pjci.idremember.com www.smartgridindonesia.com





Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page